"Jalan Neraka"

Kota Tua Toledo yang membawa bertemu Muhammad di hari kelahiran Muhammad SAW

CONTEMPLATIVE TRAVELLER

Taufiq Fredrik Pasiak

9/11/20257 min read

Mungkin setiap manusia, dalam hidupnya, akan menemukan “lorong neraka” dan “lorong iblis” masing-masing. Pertanyaannya hanya: beranikah kita terus melangkah, atau memilih mundur?

Dan seakan melanjutkan simbolisme itu, langkah kakiku kemudian menuju ke Restauran Lubna, restoran yang kami singgahi ketika pertama tiba. Begitu masuk, aroma rempah Timur Tengah langsung menyeruak—cumin, kayu manis, dan daging panggang—membuat perut seketika hangat meski udara luar begitu dingin. Suara riuh rendah di luar bercampur dengan denting sendok dan piring dari dapur kecil, menciptakan harmoni kecil yang menghidupkan lorong sepi yang baru saja kulalui. Seperti sebelumnya, aku memesan menu Shish Taouk; ayam panggang dengan nasi basmati, hummus, kentang goreng dan salad. Aku heran, entah mengapa langkah kakiku menuju ke sini lagi setelah melewati lorong neraka dan lorong iblis itu. Ini pertama kali terjadi dalam perjalananku; menyinggahi resto yang sama dua kali.

Pada kunjungan kedua di Resto Lubna ini, ketika hendak keluar, aku iseng bertanya nama para pelayan. Ternyata ada tiga orang bernama Muhammad (dua di dalam, satu di luar) dan seorang lagi bernama Mahmud. Hari itu tepat 5 September 2025, Maulid Nabi Muhammad SAW. Secara sosiologis, nama Muhammad memang lazim di Libanon, tetapi berulangnya nama itu tepat di hari Maulid Nabi menjadikannya tanda spiritual (isharah). Ketika peristiwa itu terjadi tepat di hari Maulid Nabi, setelah menempuh perjalanan via lorong neraka dan lorong setan, aku merasa ini bukan perjalanan biasa.

Pertemuan itu menjadi seperti isyarat: tanda kecil bahwa perjalanan ini memang dituntun, seperti maksud hatiku sejak dari tanah air. “apa yang dituju dan dicari, maka itu yang akan di dapat”. Aku ingat perkataan Buya Hamka ketika diundang ke Amerika. Tak ada yang kebetulan dalam langkah kakiku ini. Aku juga ingat sebuah novel yang heboh sekira 20 tahun lalu yang masih tersimpan rapih di perpustakaanku; the Celestine Prophecy karya James Redfield. Nalar filsafat dan sains yang ditulis dalam bentuk novel ini bercerita bahwa ‘tidak ada kebetulan’ yang terjadi dalam hidup ini. Semua hal telah direncanakan dan didisain. By design. Bukan by accident. Segala sesuatu memiliki sebab dan tujuan. Apatah lagi sebuah perjalanan yang sengaja diniatkan sebagai perjalanan spiritual. Kalau aku tidak salah ingat, dalam buku ‘Rumi’s little book of life” (2019, Maryam Mafi) Rumi berujar tentang ini; “Tidak ada yang terjadi secara kebetulan, tidak ada yang melakukan pencarian tanpa alasan”

Dalam perjalanan ziarah, Tuhan sering berbicara bukan dengan kejadian besar, melainkan dengan hal-hal sederhana—sebuah nama, sebuah sapaan, sebuah kebetulan yang terlalu tepat untuk disebut kebetulan. Aku pun paham: perjalanan rohani tidak berhenti pada ketakutan, keraguan atau penderitaan. Setelah gelap selalu ada terang, setelah ujian selalu ada penghiburan. Persis ayat alqur’an; “sesudah kesulitan, ada kemudahan” (QS. Al-Insyirah ayat 5-6).

Setiap perjalanan pada akhirnya menyingkap bahwa hidup bukanlah garis lurus, melainkan rentetan lorong yang gelap dan terang. Di Toledo aku belajar bahwa gelap dan terang--derita dan bahagia—tidak berdiri sendiri, melainkan selalu hadir berpasangan. Neraka dan iblis hanyalah nama lain dari kecemasan, godaan, dan pengkhianatan yang melekat pada diri manusia. Namun justru ketika kita berani melangkah masuk ke dalamnya, makna sejati pelan-pelan muncul.

Pertemuan dengan nama Muhammad berulang kali pada hari Maulid adalah sebuah pengingat: bahwa dalam setiap ujianku selalu ada rahmat yang menyusup, kadang hadir dalam bentuk paling sederhana. Aku pun sadar, gelap tak pernah benar-benar ada. Ia hanyalah ruang kosong menanti cahaya. Seperti derita, yang hanya menunggu disentuh bahagia Tuhan tidak pernah menciptakan gelap dan derita. Ia hanya menciptakan cahaya dan bahagia.

Malam hari, sembari menatap menara Alcazar Toledo dari jendela kamarku ditemani sisa cola cao yang kubawa dari Madrid, aku merenung. Udara malam merambat masuk lewat celah jendela, sejuk menusuk kulit, tapi menenangkan. Dari kejauhan, cahaya lampu menara Alcázar temaram keemasan, memantul pelan di dinding kamar, seakan ikut menjaga kesunyian batinku. Aroma coklat panas yang tinggal seteguk masih bertahan, mengikatku pada rasa sederhana yang hangat. Tidak ada yang kebetulan dalam setiap pertemuan, dan setiap yang kita temui sesungguhnya adalah tanda, adalah isyarat.

(Coretan garis besar ditulis di atas kereta Renfe 8093 St.Toledo-Madrid Puerto de Atocha, 09.25-10.00., gerbong 3-kursi 17 C)

Catatan:
• Untuk menemukan jalan neraka dan jalan iblis ini Anda bisa masuk melalui Plaza Mayor dan Teatro de Rojas dari arah atas tak jauh dari Hotel Carlos V, tempatku). Aku menemukan jalan ini dari arah bawah.
• Lubna Restaurante Libanes; Calle Sierpe, 11, 45001, Toledo. Persis bersebelahan dengan Andalusia Restorante.
• Mezquita del Cristode la luz—ini bekas masjid yang telah menjadi gereja. Lokasinya di Calle Cristo de la Luz s/n, 45002, Toledo

Toledo adalah kota terakhir dan sekaligus yang paling sepi yang kusinggahi dalam perjalanan ini. Kota ini indah—dalam arti yang sebenarnya, setidaknya menurut seorang pengelana sepertiku. Pusat kota terletak di ketinggian dan puncaknya yang tepat untuk melihat hampir semua sisi kota.

Gedung-gedung tua bernuansa Andalusia, lorong-lorong sempit, resto dan kafe yang sederhana, dan cuaca yang tidak panas-tidak dingin, membuat kota ini bakal kurindukan. Aku tinggal di Hotel Carlos-V, yang bisa dicapai kurleb 30 menit dengan taksi meteran dari stasiun Kereta Toledo. Lokasi Hotel ini, menurutku, tepat sekali. Anakku Ahimsa yang mencarikan hotel ini secara online. Lokasi hotel tak jauh dari Gedung besar, mungkin paling besar di Toledo, yakni Alcazar de Toledo (ini bekas benteng), yang bisa kulihat dari jendela kamar tidur dan jendela toilet. Dalam beberapa waktu aku membiarkan pandangan mata dan pikiranku menatap gedung ini. Seperti apa Gedung megah ini di masa lalu. an teks di sini...

Seputaran hotel bertaburan kafe dan resto, di antaranya, di satu lorong sempit ada restaurant Lubna—restoran yang menyediakan makanan syiria-libanon.

Kota ini sepi dalam arti sebenarnya. Ada nuansa lain yang kurasakan, mungkin semacam nuansa mistik sejak pertama memasukinya di Stasiun Kereta Toledo yang indah klasikal itu. Aku akan menceritakan pada bab lain soal stasiun dan beberapa spot menarik di Kota Toledo ini.

Khusus artikel ini, aku akan menceritakan pengalaman menarik ketika menyusuri lorong2 kecil sampai sekecil-kecilnya di Kota ini. Perjalanan ini dimulai sejak kami mendapati Mezquita del Cristode la Luz—ini bekas masjid yang telah menjadi gereja..

Kita bisa mencapainya melalui jalan menanjak dari pintu masuk kota Toledo (Puerto del Sol) dari arah bawah. Puerto del Sol masih menampakkan sisa kegagahannya meski kini menjadi seperti bangunan hina dina. Mesjid ini, bersama Katedral Gotik Toledo (aku hanya sempat melihatnya dari luar) dan sinagog Santa Maria La Blanca, adalah 3 bangunan yang masih tersisa yang dapat membantu aku membayangkan Toledo di masa lalu, persis seperti ketika aku mengunjungi perkampungan Islam, Kristen, dan Yahudi, di Albaicin Granada.

Dari mesjid ini, aku susuri lorong-lorong sempit beberapa sisi. Lorong sepi, hampir gelap dan ada aura menakutkan sepanjang perjalanan. Sore ini sebagian resto dan kafe sudah tutup.

Bau batu tua yang lembap menusuk hidung, seakan menyimpan jejak ratusan tahun hujan panas dan doa yang pernah singgah di dindingnya. Langkah kakiku bergema, memantul-mantul di ruang sempit, menyisakan kesunyian yang justru semakin mencekam. Cahaya matahari sore menipis, digantikan lampu jalan yang temaram, mengguratkan bayangan panjang di dinding batu.

Aku tidak tahu persis ke mana kaki ini akan bermuara. Berjalan dan terus berjalan lorong demi lorong. Di satu lorong menanjak, ada rasa dingin dan aneh yang menyelimuti. Seketika pandanganku tertumbuk pada papan jalan: Calle del Infierno—Jalan Neraka, yang dipahat di bagian atas dinding sebuah bangunan. Aku terdiam dan terpaku. Kaki terasa berat bergerak. Mataku kemudian tertumbuk pada lorong lebih sempit di bawahnya, di mana suara-suara samar berseliweran entah dari mana datangnya.

Saat melewati dari arah bawah entah mengapa kepalaku menengadah ke atas. Tetiba, ingatanku seketika melayang pada Dante dalam Divina Commedia, yang juga menyebut kata ‘inferno’ ini. Adakah hubungannya? Aku sempat membeli buku ini seperti aselinya di gift shop di Museum Vatikan setahun lalu. Buku ini ditulis sekitar abad ke-13 M. “Inferno” adalah bab pertama buku Dante itu, disusul “purgatoria’ dan “paradiso”. “Inferno” bercerita perjalanan Dante ke Neraka yang dipandu penyair Romawi kuno bernama Virgil.

Belum hilang gema rasa mencekam itu, langkahku tiba di lorong berikutnya: Callejón del Diablo—Lorong Setan. Angin tipis menyusup, dingin dan asing, membuat bulu kudukku berdiri. Ketika inilah, seekor kucing hitam melintas, kukunya beradu pelan dengan batu, berhenti sesaat, lalu menatapku dengan mata berkilat sebelum lenyap dalam bayangan. Semua itu seperti sandiwara kecil yang dipentaskan hanya untukku—meneguhkan bahwa lorong ini bukan sekadar jalan batu, melainkan cermin batin yang menantangku untuk menembus kegelapan.

Lorong ini menurut catatan yang kubaca kemudian memiliki banyak persepsi, yang entah nyata atau mitos di masyarakat Toledo. Konon, jaman dulu, tempat ini banyak terjadi peristiwa hitam. Orang berkelahi dan membunuh, tempat para penyihir, pertengkaran, bahkan pada saat2 tertentu ada penampakan2. Konon, rumah2 di seputaran lorong ini dihuni oleh penghuni yang tidak akur, konflik dan macam2 persoalan. Legenda yang menarik terkait kisah cinta terlarang antara seorang bangsawan Kristen dengan Perempuan Yahudi. Wallahu a’lam.

Sejurus kemudian, pikiranku seperti tercerahkan. Nama jalan ini bukan sekadar papan, melainkan seperti panggilan batin: bahwa setiap manusia suatu saat harus masuk ke hutan gelapnya sendiri, ke dalam lorong nerakanya masing-masing. Langkah kakiku pun sepertinya sengaja dan bukan kebetulan. Aku seperti di arahkan mengikuti lorong sempit ini. Mataku pun seperti diarahkan untuk melihat ke atas dan menenukan plat nama jalan di posisi yang cukup tinggi.

Dalam tradisi mistik, neraka adalah simbol penderitaan, dan iblis adalah simbol godaan serta sisi tergelap jiwa. Seperti Dante yang menggambarkan hutan gelap dalam Divina Commedia, atau Ibn Arabi yang menulis tentang kegelapan sebagai ujian, aku pun merasa lorong ini bukan sekadar jalan, melainkan cermin batin. St. John of the Cross, mistikus Spanyol, menyebutnya sebagai dark night of the soul—malam gelap jiwa yang harus ditempuh agar jiwa dimurnikan.

Aku pun mulai memahami: Calle del Infierno dan Callejón del Diablo bukan sekadar lorong batu di Toledo. Mereka adalah metafora perjalanan rohani. Jalan sempit, sunyi, mencekam, penuh tanda-tanda kecil—seperti kucing hitam—yang menguji hati. Jalan itu menakutkan, tapi justru di situlah jiwa ditempa. Lorong itu menegaskan bahwa setiap manusia harus berhadapan dengan sisi tergelap dirinya sendiri: keraguan, ketakutan, bahkan pengkhianatan. Jantungku berdegup. Bukan karena takut, tapi karena merasa dituntun menuju sesuatu yang lebih besar dari sekadar lorong batu tua.